Di dalam kita beribadah, tujuan kita adalah ALLAH. Agar ALLAH dibesarkan, disanjung, dan dicintai. Untuk terjadinya perasaan itu, ALLAH datangkan syariat, peraturan, ada yang asas, sunat, dan umum. Yang asas itu adalah ibadah yang fardhu (wajib), shalat, puasa, zakat dan haji. Semoga dengan ibadah itu dapat lahir perasaan-perasaan membesarkan ALLAH. Tapi kalau dengan yang fardhu tidak cukup, ALLAH tambahkan yang sunat.
ALLAH tahu ada orang yang asyik dengan ALLAH, sebentar-sebentar ingin bertemu, sehingga tidak cukup dengan yang fardhu. Bagi orang yang mabuk pada ALLAH, silakan memperbanyak ibadah yang sunat. Seolah-olah yang fardhu saja tidak cukup untuk mendatangkan rasa hamba, cinta, takut dan lain-lain.
Begitulah seterusnya, ibadah yang fardhu dan sunat pun terbatas, banyak lagi waktu, untuk makan, istirahat, yang semuanya mubah. Seolah-olah ALLAH beritahu bahwa jika dengan yang mubah itu hambaNya tidak mendekatkan diri kepadaNya maka Dia beri rukhsah (keringanan), artinya ALLAH tidak bertindak asalkan yang mubah jangan digantikan dengan yang haram. Seolah-olah ALLAH berkata, “Kalau kau ingin istirahat, Aku beri keringanan.” Itulah rahmat ALLAH supaya kita tak berdosa.
Tapi yang sebaik-baiknya yang mubah pun dijadikan jalan untuk mendekatkan diri pada ALLAH. Artinya 24 jam dalam ibadah. Segala pekerjaan baik yang fardhu, yang sunat, dan yang mubah dilakukan dengan tujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) pada ALLAH, untuk merasa cinta, takut, bahkan mabuk dengan ALLAH. Kalau ibadah ataupun pekerjaan tadi baik yang fardhu, sunat maupun yang mubah tidak mendatangkan perasaan kasih, takut, dan mabuk dengan ALLAH, maka ia tidak ada nilainya. Shalat, puasa, zakat, haji semuanya tidak ada nilainya sebab tujuannya tidak sampai.
Sekarang ini masyarakat tidak faham peranan ibadah, sebab itu walaupun banyak shalat, pergi umrah tapi perangai tidak berubah. Padahal ALLAH tidak memandang banyaknya ibadah, tetapi pada kesannya. Artinya bila dengan amalan lahir itu tidak timbul rasa cinta pada ALLAH, tidak terasa malu dan takut pada ALLAH maka ibadah yang banyak tidak ada nilainya. Sebaliknya walaupun hanya mengerjakan yang fardhu tapi terasa peranan ibadah, maka itu sudah cukup.
Sebab itu dalam beribadah jangan mengejar fadhilat (pahala/khasiat). Misal, shalat dhuha agar mendapat pahala berlipat. Itu hanya tambahan. Kita kiaskan dengan orang yang mendapat gaji di kantor. Kadang-kadang gaji yang pokok sedikit saja, mungkin 500 ribu. Tapi kalau lembur dapat 1 juta. Yang 1 juta itu fadhilat. Tapi jika kerja asas tidak dibuat, apakah akan dapat bonus yang 1 juta? Kalau kita kiaskan, orang yang mengejar fadhilat dengan shalat sunat, sedangkan ibadah fardhu tidak berperanan. Itu artinya orang yang mengejar fadhilat tertipu. Hal ini ulama pun banyak yang tidak tahu.
Sekarang peranan ibadah dan syariat sudah diselewengkan. Bila kita lihat kehidupan orang-orang ALLAH, isteri Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz memberitahu tentang suaminya, ibadahnya tidak sebanyak orang lain. Tentu sudah sewajarnya demikian sebab dia memerintah, tidak sempat banyak beribadah. Tapi kata isterinya, ketika hendak tidur malam Khalifah menangis menggelepargelepar karena takutnya pada ALLAH. Selama 2 tahun memerintah, walaupun isteri ada di sisinya tapi beliau tak pernah menyentuhnya karena rasa takut dan malunya pada ALLAH.
Orang yang secara lahir terlihat banyak amalannya tapi hati tidak terasa takut pada ALLAH itu lebih berat kesalahannya daripada orang yang mencuri tapi merasa berdosa. Kalau kita mencuri terasa berdosa sebab kesalahan itu dapat dinilai secara lahir. Tapi kesalahan orang yang beribadah karena fadhilat itu tidak terasa, sangat halus dan berbahaya.
Ulasan
Catat Ulasan