LATAR BELAKANG PERANG SYIFFIN.
( Masjid Kufah ).
Kufah ((الكوفة) merupakan sebuah bandar di Iraq. Ia terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Baghdad. Dianggarkan bandar ini mempunyai seramai 110,000 penduduk pada 2003.Bersama-sama dengan Karbala dan Najaf, Kufah merupakan salah satu daripada tiga bandar terpenting di Iraq untuk golongan Syiah. Di era Khalifah Saidina Ali, pusat pentabiran dipindahkan dari Madinah Al-Munawarah ke Kufah. Di sinilah Saidina Ali meninggal dunia dari tetakan pedang Ibnu Muljam. Makam Saidina Ali bin Abi Talib pula berada di Najaf. Menurut keterangan warga Iraq seorang juruterbang di MAS, Makam tersebut amat diyakini oleh penduduk Syiah. Paling mutakhir, Irak telah dibagi menjadi lima daerah budaya: Kurdi di utara yang berpusat di Erbil ( Babylon ) Orang Sunni di wilayah tengah sekitar Baghdad, Orang Syiah di selatan yang berpusat di Basra. Assyria, sekelompok orang Kristen, tinggal di berbagai kota di utara, dan Arab Rawa, sekelompok orang yang berpindah-pindah, tinggal di daerah berpaya di sungai tengah. ( Arab Baduwi ).
Sejarah yang ditulis para ulama ahli sunnah wal jamaah, sebenarnya kadua sahabat tersebut iaitu Ali bin Abi Talib dan Muawiah beserta mejoriti umat Islam yang hidup di masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi penggeser atau pencetus. Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri sendiri, dendam lama pengikut Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah faktor yang cukup menentukan. Gerakan tipu helah yang dilakukan Abdullah bin Saba’ beserta pendukungnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman.
Gerakan khas yang banyak mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan perjalanan pentadbiran negara, dan menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai para pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran pertama, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, ”kelompok Mesir” mengajak para pendukungnya yang sudah tersebar di Syam, Kufah dan Bashrah untuk melawan gubernur mereka, tapi hanya ”kelompok Kufah yang bangkit, hingga Said bin Ash, pun turun dari jabatannya. Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Mawiyah yang berada di Syam. Akan tetapi, usaha mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak mampu mereka laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau selanjutnya mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.
Muawiyah telah menjawat sebagai gubernur di Syam sejak masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi khalifah, Muawiyah tetap menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap berlangsung hingga Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).Posisi Gubernur Muawiyah terkesan dari gerakan ”makar Sabaiyah” disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni, bahwa di wilayah itu banyak tinggal para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid dan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh pemahaman Islam yang baik, di bawah bimbingan para sahabat tersebut, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain itu, keakraban Muawiyah dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan makar ini.
Apalagi Muawiyah memahami kerakter kelompok ini, karena beliau pernah berhadapan dengan mereka di saat Khalifah Utsman Masih hidup. “Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah, untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka burbuat baik-baik terimalah, akan tetapi jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”, pesan Utsman kepada Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari (5/138).Benar adanya, mereka datang kepada Muawiyah, dan meminta agar Muawiyah melepas jawatannya . Muawiyah menjawab,”Seandainya ada orang lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya dan yang lainnya tidak menduduki jawatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal ini mirip apa yang diharapkan syetan”. Kamudian mereka dikeluarkan dari Syam.
Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok inilah yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan mereka melakukan bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan tersingkap setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.Permulaan Perselisihan antara Ali dan Muawiyah. Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.Dan kelompok ini sudah bergabung dalam barisan Ali bin Abi Thalib. Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku beliau Al Inshaf (hal.418), menyebutkan,”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator” dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi Muawiyah.”
Perselisihan dimulai setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali. Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya Utsman.Sampai akhirnya Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi, untuk menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas pembunuhan Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya berlepas diri kepada Engkau dari darah Utsman,”
Setelah Qubishah keluar, kaum Saba’yah mengatakan,”Ini anjing, ini adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu kelompok ini mengerumuni Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka, sebagaimana disebut dalam Tarikh At Thabari (5/215).
Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum Saba’iyah memang masih menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.
Di saat Ali berada di Bashrah saat terjadi perang Jamal, disebutkan Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir (1/102), bahwa Imam Ali berada di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak berniat keluar menuju Syam, kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah. Dalam At Tarikh At Thabari (5/282) disebutkan,”Saba’iyah inginkan Ali segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka melakukan perjalanan tanpa meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti jejak mereka, guna menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya yang mereka inginkan.”Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai.
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga mengancam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (6/40), tatkalah salah satu sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata kepada beliau,”Apakah kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al Mukminin menjawab,”Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata, ”Hukumannya adalah timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab,”Tidakkah ada yang membakar bumi, kecuali Al Asytar?”
Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin mengutus sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali menyeru agar Muawiyah melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/265).
Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai sikap yang diambil oleh Amir Al Mukminin ini, dikarenakan kemulyaan akhlak yang dimiliki Jarir. Utusan ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa Muawiyah enggan melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada si pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan baiat. Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar mengatakan kepada Amirul Mukminin, ”Bukankah saya telah melarangmu untuk mengutus Jarir? Kalau engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka pintu, kecuali aku yang menutupnya.”Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir membalas,”Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan terbunuhnya Utsman.”
Al Asytar tidak mau kalah, ”Kalau Amir Al Mukminin mematuhiku, maka ia akan mengurungmu, beserta orang-orang sepertimu, hingga perkara ini menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau mememutukan untuk keluar dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah beliau pimpin saat menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah (7/294).
Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir keluar di atas menunjukkn bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam tubuh kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.
Bukan Perebutan Kursi Kekuasaan
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuatSetelah kembalinya utusan Amir Al Mukminin dari Syam, dan gamblangnya pendirian penduduk Syam, bahwa mereka enggan melakukan baiat, kecuali dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku pembunuhan Utsman. Maka, eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terncam, karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.Tidak ada cara lain bagi mereka, kacuali mendesak Amirul Mukminin untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/10),”Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman,yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar beliau memecat Muawiyah dari jawatannya sebagai gubernur Syam.”
Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat bahwa pelaksanaan hadd tidak bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa diselesaikan, apalagi para pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah mereka pun banyak, ini semakin menyulitkan posisi beliau. Mejoriti Umat Tak Menghendaki Perang.Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali telah mengirimkan pasukan pembuka, yang berjumlah 8 ribu tentara. Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan sungai Eufrat, sedangkan pasukan Khalifah melewat sisi kirinya. Karena khawatir adanya serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang, dengan melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang terjadi, penduduk kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa melalui ‘Anat, pasukan hendak melalui penyeberangan lainnya, yang berada di wilayah Hiit, akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, mereka dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya, mereka terlambat, dan bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan mereka.
Selanjutnya penduduk Qirqisiya’ menghalangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar Riqah mengumpulkan seluruh perahu mereka dan enggan membantu pasukan itu menyeberang menuju Shiffin, hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di wilayah Manbaj. Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut terhadap mereka yang menghalangi perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan utama bukanlah menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama, terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam”Jika tidak kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki, merusak tanah atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh At Thabari (5/229).
Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai Al Asytar, karena tidak menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh Utsman, walau ia adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi bahwa akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam Al Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam rumah Al Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka,”Apakah di dalam rumah hanya ada Al Asytar?” Mereka menjawab, ”tidak.” Khalifah kembali mengatakan,”Umat ini bersandar kepada kaluarga yang paling baik, akan tetapi mereka telah membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami memerangi Bashrah karena baiat yang kami takwilkan, sedangkan kalian bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak dibaiat oleh mereka (Syam), handaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus diletakkan.”
Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul Mukminin telah memperingatkan Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke Shiffin, dan menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah wilayah yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam. Niatan Amirul Mukminin untuk tidak mengutamakan kekuatan senjata didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah Ali mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada Muawiyah, beliau naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jama’ah,”Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Iraq untuk kalian.
Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan,”Anda yang berfikir, kami yang melaksanakan.” Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi 3 bagian. Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jama’ah,”Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran dan berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar, dengan mengatakan,”la haula wa la quwwata ila billah.”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa, setelah Ali dibaiat, para tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui beliau dan meminta agar dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali menyatakan udzur untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan mereka yang besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair untuk memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi kekuatan kaum Khawarij.
Akhirnya, para sahabat, termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi lagi Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat Khalifah belum melakukan ”apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. ”Wahai saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insyaallah.”Jelas, dari penjelasan di atas, tidak diragukan lagi, Ali sendiri berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para pembunuh Utsman, tapi beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di sekeliling khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para sahabat pun mengakui hal tersebut.
Ulasan
Catat Ulasan